FIQIH EKOLOGI
Sebuah Ejawantah Pemikiran Islam Kontekstual
Fenomena Dampak Krisis Ekologi
UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 10 ayat 1, menyebutkan, pemerintah diwajibkan mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 10, kegiatan ini dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, serta pendidikan dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia.
Arianti Ina R. Hunga di dalam bukunya, Ekofeminisme; dalam tafsir agama, pendidikan, ekonomi, dan budaya,mengatakan bahwa perubahan iklim global telah menjadi masalah masyarakat dunia. Human Development Report (2007) melaporkan bahwa akibat pemanasan global pada tahun 2000-2004, sekitar 262 juta orang menjadi korban bencana iklim (climate disaster) dan 98% darinya adalah masyarakat di dunia ketiga.
Peningkatan suhu antara 3-4 derajat celsius yang diakibatkan dari perubahan iklim dapat meyebabkan 350 juta orang di dunia kehilangan tempat tinggal akibat banjir. Penigkatan suhu air laut juga akan menyebabkan badai tropis yang berpotensi berdampak pada 334 juta orang. Selain itu, kekeringan juga akan menjadi bencana yang mengancam pertanian dan ketahanan pangan, bahkan bencana kelaparan.
Data menunjukan bahwa sekitar 29% lahan bumi mengalami penggurunan antara ringan, sedang, dan parah, sedangkan 6% lainnya diklasifikasikan sangat parah. Hutan tropis yang mencakup 6% luas permukaan bumi namun memiliki kenakeragaman hayati tinggi yaitu sekitar 50% dari jumlah spesies yang ada keadaannya cukup memperihatinkan (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia: 2009, 404). Telah lebih dari dua dasawarsa ini, penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak yang dilaporkan oleh pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat. Diketahui bahwa, penyebeb terjadinya ISPA adalah rendahnya kualitas udara di dalam rumah atau di luar rumah (Delik: 2010, 20)
Sumbangan utama terhadap jumlah karbon dioksida diatmosfir berasal dari pembakaran bahan fosil, yaitu minyak bumi, batu bara, dan gas bumi. Penggundulan hutan serta perluasan wilayah pertanian juga meningkatkan jumlah karbon dioksida diatmosfir (Meidiana: 2006, 36).
Gagasan Fiqih Ekologi
Islam sebagai agama mayoritas didunia khususnya di Indonesia, diyakini memiliki seperangkat aturan dan konsep disegala aspek kehidupan manusia. Dari mulai konsep ekonomi, budaya, politik, dan pendidikan termasuk bagaimana Islam menawarkan gagasankonsep pendidikan lingkungan hidup. Al Quran yang sejatinya diperuntukan sebagai hudan linnaas(QS. Al-Baqarah: 185),tentunya isi kandungannya tidak hanya dibatasi pada persoalan-persoalan ‘ubuudiyyah maupun ‘aqiidah, melainkan didalamnya mengandung wawasan tentang bagaimana mengolah sumber daya alam (baca: karunia) yang melimpah ini. Sebagai konsekuensi logis manusia sebagai khalifah fi al-ardl, manusia dibekali dengan seperangkat alat untuk bagaimana memberdayakan sumber daya alam ini sebaik-baiknya untuk kemaslahatan ummat.
Fiqih Ekologi merupakan perpaduan antara fiqih dan ekologi. Fiqih secara etimologi berarti mengerti, memahami, pengertian, dan pengetahuan (Munawwir: 1997, 1067). Sedangkan secara terminologi, Fiqih merupakan suatu ilmu yang membahas tentang hukum atau perundang-undangan Islam berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Sedangkan Ekologi adalah Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya baik yang hidup maupun yang tidak hidup (Mangunjaya: 108).
Pemanasan global (global warming) tidak menjadi isulagi, melainkan fenomena nyata yang dampaknya semakin mengancam keberlangsungan bumi. Dampak paling nyata dari pemanasan global adalah rentetan bencana alam yang menimpa belahan bangsa di dunia, baik bencana alam di darat, di laut, maupun di udara yang disebabkan bukan karna faktor alam belaka melainkan campur tangan kotor manusia.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar”. QS. Ar-Rum: 41
Padahal, manusia ditempatkan dibumi ini bukanlah secara kebetulan, ia tampil di dunia bukan pula sebagai benda yang hidup lalu mati kembali ke benda tanpa tanggung jawab, sebagaimana halnya pandangan yang dikemukakan oleh paham materialisme.
Problem terbesar umat Islam adalah pada bagaimana memahami Islam secara universal tanpa mendikotomikan, yakni bagaiamana ajaran normatif Islam bisa menjadi jembatan untuk menyeberangi persoalan-persoalan sosial dan lingkungan hidup. Selama ini, syariat Islam disempitkan daya jelajahnya hanya pada ranah ibadah saja. Seolah-olah wilayah kajian syariat Islam terbatasi oleh aspek Fiqih Ibadah saja.
Jika ditelusuri, al-Qur’an banyak menyinggung persoalan-persoalan ekologi yang secara implisit maupun eksplisit menyuruh manusia untuk memperhatikan lingkungan sebagai keberlangsungan kehidupan di bumi. Kata fadl, rizq, kasb, thoyyib, khoir, dan lain sebagainya, menunjukan spirit pengelolaan bumi secara seimbang. Demikian juga spirit untuk menjaga keseimbangan ekosistem bisa didapati dari hadits shahih riwayat Imam Bukhari.
“Barang siapa dari orang muslim yang menanam tanaman atau membuka lahan persawahan maka tanaman tersebut dimakan burung atau manusia atau binatang ternak, melainkan bagianya pahala sodakoh.”
Informasi naqliyah tersebut menyiratkan adanya perpaduan sinergi antara urusan dunia dan ukhrowi.Al-Qur’an sebagai landasan konseptual, misalnya saja pada ayat 77 dari QS. Al-Qashash,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dengan lugas Allah menyuruh manusia memanfaatkan dan memberdayakan kekayaan bumi tanpa melakukan eksploitasi bumi secara berlebihan. Selain diperintah untuk memikirkan kehidupan akhirat, Allah pun menegur manusia untuk memenuhi kehidupan yang berdimensi kebendaan secara integral.
Fiqih Ekologi adalah pemikiran Islam yang dilatar belakangi oleh respon terhadap krisis ekologi yang telah melumpuhkan sendi-sendi ekosistem. Fiqih Ekologi merupakan produk pemikiran yang diterjemahkan dari teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunah. Penulis yakin, bahwa tidak ada satupun ajaran Islam yang luput dari perhatiannya terhadap segala aspek kehidupan, termasuk perhatiannya yang menyentuh aspek ekologi.
Credits:
(Nurochman As-Sayyidi)
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Pekalongan.
Faizcraft.blogspot.co.id
Sebuah Ejawantah Pemikiran Islam Kontekstual
Fenomena Dampak Krisis Ekologi
UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 10 ayat 1, menyebutkan, pemerintah diwajibkan mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 10, kegiatan ini dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, serta pendidikan dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia.
Arianti Ina R. Hunga di dalam bukunya, Ekofeminisme; dalam tafsir agama, pendidikan, ekonomi, dan budaya,mengatakan bahwa perubahan iklim global telah menjadi masalah masyarakat dunia. Human Development Report (2007) melaporkan bahwa akibat pemanasan global pada tahun 2000-2004, sekitar 262 juta orang menjadi korban bencana iklim (climate disaster) dan 98% darinya adalah masyarakat di dunia ketiga.
Peningkatan suhu antara 3-4 derajat celsius yang diakibatkan dari perubahan iklim dapat meyebabkan 350 juta orang di dunia kehilangan tempat tinggal akibat banjir. Penigkatan suhu air laut juga akan menyebabkan badai tropis yang berpotensi berdampak pada 334 juta orang. Selain itu, kekeringan juga akan menjadi bencana yang mengancam pertanian dan ketahanan pangan, bahkan bencana kelaparan.
Data menunjukan bahwa sekitar 29% lahan bumi mengalami penggurunan antara ringan, sedang, dan parah, sedangkan 6% lainnya diklasifikasikan sangat parah. Hutan tropis yang mencakup 6% luas permukaan bumi namun memiliki kenakeragaman hayati tinggi yaitu sekitar 50% dari jumlah spesies yang ada keadaannya cukup memperihatinkan (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia: 2009, 404). Telah lebih dari dua dasawarsa ini, penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak yang dilaporkan oleh pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat. Diketahui bahwa, penyebeb terjadinya ISPA adalah rendahnya kualitas udara di dalam rumah atau di luar rumah (Delik: 2010, 20)
Sumbangan utama terhadap jumlah karbon dioksida diatmosfir berasal dari pembakaran bahan fosil, yaitu minyak bumi, batu bara, dan gas bumi. Penggundulan hutan serta perluasan wilayah pertanian juga meningkatkan jumlah karbon dioksida diatmosfir (Meidiana: 2006, 36).
Gagasan Fiqih Ekologi
Islam sebagai agama mayoritas didunia khususnya di Indonesia, diyakini memiliki seperangkat aturan dan konsep disegala aspek kehidupan manusia. Dari mulai konsep ekonomi, budaya, politik, dan pendidikan termasuk bagaimana Islam menawarkan gagasankonsep pendidikan lingkungan hidup. Al Quran yang sejatinya diperuntukan sebagai hudan linnaas(QS. Al-Baqarah: 185),tentunya isi kandungannya tidak hanya dibatasi pada persoalan-persoalan ‘ubuudiyyah maupun ‘aqiidah, melainkan didalamnya mengandung wawasan tentang bagaimana mengolah sumber daya alam (baca: karunia) yang melimpah ini. Sebagai konsekuensi logis manusia sebagai khalifah fi al-ardl, manusia dibekali dengan seperangkat alat untuk bagaimana memberdayakan sumber daya alam ini sebaik-baiknya untuk kemaslahatan ummat.
Fiqih Ekologi merupakan perpaduan antara fiqih dan ekologi. Fiqih secara etimologi berarti mengerti, memahami, pengertian, dan pengetahuan (Munawwir: 1997, 1067). Sedangkan secara terminologi, Fiqih merupakan suatu ilmu yang membahas tentang hukum atau perundang-undangan Islam berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Sedangkan Ekologi adalah Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya baik yang hidup maupun yang tidak hidup (Mangunjaya: 108).
Pemanasan global (global warming) tidak menjadi isulagi, melainkan fenomena nyata yang dampaknya semakin mengancam keberlangsungan bumi. Dampak paling nyata dari pemanasan global adalah rentetan bencana alam yang menimpa belahan bangsa di dunia, baik bencana alam di darat, di laut, maupun di udara yang disebabkan bukan karna faktor alam belaka melainkan campur tangan kotor manusia.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar”. QS. Ar-Rum: 41
Padahal, manusia ditempatkan dibumi ini bukanlah secara kebetulan, ia tampil di dunia bukan pula sebagai benda yang hidup lalu mati kembali ke benda tanpa tanggung jawab, sebagaimana halnya pandangan yang dikemukakan oleh paham materialisme.
Problem terbesar umat Islam adalah pada bagaimana memahami Islam secara universal tanpa mendikotomikan, yakni bagaiamana ajaran normatif Islam bisa menjadi jembatan untuk menyeberangi persoalan-persoalan sosial dan lingkungan hidup. Selama ini, syariat Islam disempitkan daya jelajahnya hanya pada ranah ibadah saja. Seolah-olah wilayah kajian syariat Islam terbatasi oleh aspek Fiqih Ibadah saja.
Jika ditelusuri, al-Qur’an banyak menyinggung persoalan-persoalan ekologi yang secara implisit maupun eksplisit menyuruh manusia untuk memperhatikan lingkungan sebagai keberlangsungan kehidupan di bumi. Kata fadl, rizq, kasb, thoyyib, khoir, dan lain sebagainya, menunjukan spirit pengelolaan bumi secara seimbang. Demikian juga spirit untuk menjaga keseimbangan ekosistem bisa didapati dari hadits shahih riwayat Imam Bukhari.
مَامِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا اَوْيَزْرُعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌاَوْاِنْسَانٌ اَوْبَهِيْمَةٌ اِلَا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
Informasi naqliyah tersebut menyiratkan adanya perpaduan sinergi antara urusan dunia dan ukhrowi.Al-Qur’an sebagai landasan konseptual, misalnya saja pada ayat 77 dari QS. Al-Qashash,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dengan lugas Allah menyuruh manusia memanfaatkan dan memberdayakan kekayaan bumi tanpa melakukan eksploitasi bumi secara berlebihan. Selain diperintah untuk memikirkan kehidupan akhirat, Allah pun menegur manusia untuk memenuhi kehidupan yang berdimensi kebendaan secara integral.
Fiqih Ekologi adalah pemikiran Islam yang dilatar belakangi oleh respon terhadap krisis ekologi yang telah melumpuhkan sendi-sendi ekosistem. Fiqih Ekologi merupakan produk pemikiran yang diterjemahkan dari teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunah. Penulis yakin, bahwa tidak ada satupun ajaran Islam yang luput dari perhatiannya terhadap segala aspek kehidupan, termasuk perhatiannya yang menyentuh aspek ekologi.
Credits:
(Nurochman As-Sayyidi)
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Pekalongan.
Faizcraft.blogspot.co.id
Post a Comment